Selasa, 09 Agustus 2016

Transmigrasi dan Transformasi: Desa Sungai Tambang


Seratus enam puluh lima kilometer dari ibu Kota Provinsi Sumatera Barat Padang, atau 4 jam perjalanan yang perlu ditempuh menuju sebuah desa transmigrasi yang berada di Kabupaten Sijunjung, yaitu Sungai Tambang. Adanya tambang batu bara dan sebuah sungai yang mengalir di daerah pertambangan, merupakan latar belakang pemberian nama desa ini. Desa yang dilewati oleh jalan lintas Sumatera, merupakan daerah transmigrasi  yang disediakan oleh pemerintah untuk penduduk yang dulunya berasal dari Pulau Jawa.

Gambar 1: Para transmigran dari Pulau Jawa
Sumber: Ramadhan dkk, 1993

Kebijakan transmigrasi merupakan solusi yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Di daerah transmigrasi, pemerintah memberikan lahan untuk pemukiman dan bercocok tanam kepada penduduk transmigran. Pemerintah memberikan lahan untuk pemukiman seluas ¼ hektar untuk setiap keluarga. Dan lahan untuk bercocok tanam seluas 1 ¾ hektar.  Di lahan pemukiman, didirikan rumah-rumah panggung yang diisi oleh beberapa anggota keluarga. Dan di lahan bercocok tanam, dibuat ladang dan sawah untuk menanam padi.

Desa Sungai Tambang merupakan daerah transmigran yang penduduknya heterogen. Ada penduduk asli yaitu Suku Minang dan penduduk transmigran yang bersuku Jawa dan Sunda. Dan kini bertambah lagi Suku Batak yang berasal dari perantau Sumatera Utara. Datangnya penduduk transmigran dapat diterima dengan baik oleh penduduk asli. Masyarakat mampu hidup bersama dalam keberagaman suku dan agama, yang mencerminkan ideologi bangsa Indonesia ─ Pancasila.

Kehidupan yang damai dalam keberagamaan tanpa muncul konflik-konflik sosial yang dikarenakan perbedaan ras, merupakan sebuah ketenangan dalam menjalani kehidupan. Penduduk desa ini bermata pencaharian yang banyak menguras keringat dan menuntut kerja keras untuk sejahtera, yaitu bertani. Bercocok tanaman padi dulunya merupakan sumber utama penghidupan. Sawah-sawah terbentang luas dan terlihat indah dari atas bukit─Bukit Itik─yang berada di desa ini.

Pada awalnya mata pencaharian sebagai petani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari─Subsisten─dan keluarga yang hanya sibuk memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup di daerah yang baru ditempati, berakibat tidak adanya perhatian keluarga untuk kelanjutan pendidikan anaknya. Wajarlah, jika generasi pertama dan kedua dari penduduk transmigran ini banyak yang tidak menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah. Bahkan banyak yang tidak tamat Sekolah Dasar.

Gambar 2: Kondisi Pemukiman
Sumber: Ramadhan dkk, 1993
Selain pendidikan, kesehatan juga merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam menunjang kehidupan. Fasilitas kesehatan yang sangat terbatas merupakan masalah penting di lingkungan baru yang dulunya merupakan hutan, tentu bisa menjadi pemicu munculnya penyakit yang diderita oleh penduduk. Memang ini merupakan sebuah tantangan bagi penduduk bagaimana bisa bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Ketika ada anggota keluarga yang sakit, mereka tidak tahu harus dibawa berobat ke mana dan akhirnya banyak keluarga yang mengabaikan jika ada anggota keluarga yang sakit. Atau mereka hanya bisa mengobati dengan bahan-bahan yang tersedia di alam.
          
Keterbatasan fasilitas publik merupakan kendala utama yang harus dihadapi penduduk transmigran. Gelap ketika malam datang, mereka nikmati dengan pencahayaan seadanya, karena listrik yang salah satu sumber pencahayaan belum tersedia. Bercengkerama bersama keluarga yang penuh kehangatan dan canda tawa untuk menghapus derita merupakan rutinitas setiap malam yang kelam. Mereka belum bisa menikmati hiburan seperti televisi. Hiburan hanya dari canda tawa antar anggota keluarga.
                                    
                                      Gambar 3: Rumah-rumah para transmigran
Sumber: Ramadhan dkk, 1993

Setelah lebih dari dua puluh tahun dari awal menempati daerah transmigrasi─tahun 1968─penduduk mulai menikmati kehadiran aliran listrik pada awal tahun 90’an. Kehadiran listrik ini menjadi starting point untuk perubahan kehidupan penduduk transmigran. Rumah-rumah penduduk mulai diterangi lampu listrik, sebagai pengobat rindu malam yang diterangi cahaya. Kemudian muncul permintaan untuk barang-barang rumah tangga yang menggunakan listrik. Keadaan ini memicu lahirnya usaha-usaha untuk memenuhi permintaan tersebut. Serta adanya listrik ini menambah semangat belajar anak-anak penduduk transmigran ketika malam hari, yang sebelumnya mereka belajar hanya dengan penerangan seadanya. Listrik telah menjadi initial resourcing dalam perubahan kehidupan para transmigran.

Penduduk transmigran harus menunggu hingga dua puluh tahun untuk menikmati aliran listrik, kemudian sepuluh tahun kemudian─awal tahun 2000’an─penduduk juga mulai bisa menikmati jaringan komunikasi melalui handphone. Tentu kehadiran jaringan komunikasi ini bisa memperlancar dunia usaha yang ada pada saat itu dan juga mendorong lahirnya usaha-usaha baru. Dan kini, desa ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pelaku usaha dengan tersedianya fasilitas-fasilitas publik.

Ketersediaan fasilitas publik yang lebih baik pada awal tahun 2000’an, juga diikuti dengan perubahan dan penambahan sumber pencaharian penduduk. Dulu, penduduk hanya bercocok tanam padi saja. Kini, mereka mulai mengusahakan tanaman-tanaman perkebunan yang lebih memberikan low risk dan high income  dibandingkan dengan menanam padi, seperti tanaman karet dan sawit.

Perekonomian pun terus menggeliat dengan meningkatnya permintaan dan harga untuk komoditi karet dan sawit. Sehingga penduduk mulai membuka lahan-lahan baru untuk dijadikan lahan perkebunan. Begitu besarnya perubahan kehidupan petani dengan mengusahakan tanaman perkebunan ini, berakibat meningkatkan alih fungsi lahan dari tanaman padi ke tanaman perkebunan. Hamparan sawah-sawah hijau yang dulu bisa dinikmati dari atas bukit, kini berubah menjadi hamparan kebun sawit. Memang dengan adanya kebun sawit kehidupan petani bisa lebih sejahtera. Namun, karena komoditi ini memiliki kebutuhan air yang cukup tinggi membuat saluran air dari bendungan mulai mengering. Hal ini  menyebabkan petani-petani yang masih menanam padi kesulitan untuk memperoleh air. Dan akhirnya mereka dengan terpaksa mengalihfungsikan lahannya menjadi tanaman perkebunan.

Pada awal tahun 2000’an, keluarga pun telah mulai memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Karena kebutuhan primer mereka telah mampu terpenuhi. Munculnya sekolah-sekolah negeri baru menunjukkan semakin tingginya minat bersekolah anak-anak transmigran. Meski pada periode belum banyak yang melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Kemudian meningkatnya kesadaran pentingnya pendidikan, pada pertengahan tahun 2000’an sudah mulai banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Dan kini, anak-anak transmigran ini sudah banyak yang menyandang gelar sarjana bahkan bergelar magister. Selain karena kemauan sekolah juga didukung kemampuan ekonomi keluarga dari hasil usaha tani perkebunan.

Meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan juga diikuti dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan. Kini selain adanya Puskesmas, juga ada praktik-praktik dokter, bidan dan didukung adanya apotek-apotek untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Munculnya fasilitas-fasilitas kesehatan ini karena semakin meningkatkan permintaan akan kebutuhan dan kesadaran kesehatan.

Desa Sungai Tambang yang dulunya memiliki segala keterbatasan infrastruktur dan fasilitas publik, kini menjadi growth pole yang menggerakkan perekonomian di wilayah tersebut. Kegiatan jual-beli terus meningkat dan ruko-ruko berjajaran sebagai tempat usaha terus bertambah di sepanjang jalan lintas Sumatera yang melewati desa ini. Perekonomian di desa ini terlihat menjanjikan yang mampu mengundang penduduk dari daerah lain untuk mencoba peruntungan. Selain mampu mengundang penduduk dari daerah lain, perekonomian desa ini juga mampu menarik bank-bank untuk membuka cabangnya. Kini, tercatat sudah ada tiga bank BUMN dan satu bank daerah yang berdiri di desa yang dulunya semak belukar. Bank tersebut hadir dengan harapan mampu mendorong perekonomian dengan pinjaman-pinjaman modal untuk usaha.

Dengan adanya transformasi yang dialami oleh dasa ini, bisa dikatakan bahwa program transmigrasi berhasil dalam rangka memperbaiki kehidupan penduduk. Karena jika penduduk memilih bertahan di Pulau Jawa ─tidak transmigrasi─ bisa jadi kehidupan mereka tidak lebih baik. Dengan lahan yang sudah sangat sempit dan jumlah penduduk terus bertambah, hampir tidak mungkin mereka bisa memperbaiki kehidupan dengan keterbatasan lahan yang terus meningkat. Memang membutuhkan waktu hampir tiga puluh tahun untuk menikmati hasil dari transmigrasi dengan adanya perbaikan kehidupan, namun itu lebih baik jika dibandingkan harus bertahan hidup dalam keterbatasan dan kesengsaraan tanpa perbaikan. ‘Berhijrah’ diperlukan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Waktu yang lama untuk menikmati hasil dari transmigrasi─hingga tiga puluh tahun─menjadi catatan untuk pemerintah jika tetap mengadakan program ini dan hasilnya bisa dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat. Selain menyediakan lahan untuk pemukiman dan bercocok tanam, pemerintah juga seharusnya menyediakan (1) Infrastruktur jalan yang layak guna mendukung mobilitas penduduk. (2) Fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas. (3) juga tersedianya aliran listrik dan jaringan komunikasi. (4) Pembekalan dan pengarahan kepada calon transmigran menghadapi kondisi lingkungan yang baru. (5) menyediakan sumber mata pencaharian selain usaha tani yang subsisten.

Selasa, 03 November 2015

Keterbatasan Bukanlah Alasan untuk Menggenggam Impian


Kehidupan petani Indonesia yang begitu sederhana, memperoleh nafkah dari mengusahakan lahan yang terbatas untuk membiayai segala kebutuhan, hingga sering kali mengolah lahan dengan resiko harga produksi terjun bebas dan cuaca yang urung bersahabat sudah menjadi tantangan hidup yang harus dijalani setiap hari. Tidaklah mudah menjadi petani, terlebih petani Indonesia yang bergaining position-nya lemah dalam menghadapi pasar, dan tak ayal income yang diperoleh tidak sebanding dengan effort. Sehingga sudah jadi rahasia umum petani sulit sejahtera. Sungguh inilah gambaran petani yang ada di negeri kita yang sumber daya alamnya melimpah ruah. Ironi sekali dari lirik lagu “Orang bilang tanah kita, tanah Surga. Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman” ini. Namun, tidak bisa memilih, dari seorang petani inilah saya dilahirkan, tumbuh, kembang hingga jadi seperti ini.
Dilahirkan sebagai generasi kedua dari penduduk transmigran, wajar saja kami harus kerja keras memutar otak, memberdayakan tenaga, segala daya upaya untuk bertahan hidup di daerah yang tak pernah kami tahu sebelumnya. Inilah program pemerintah orde baru tahun 1960’an untuk mengurangi disparitas penduduk di Indonesia, Transmigrasi. Saya, Dany Juhandi, masih sangat perlu bersyukur karena menjadi generasi pertama yang menikmati dunia pendidikan yang lebih baik. Lantas, tidak perlu dipertanyakan jika Ayah dan Ibunda tidak menikmati bangku sekolah layaknya saya. Yaa begitulah, kemana hendak mengadu, orang tua saya adalah petani yang tidak mencicipi pendidikan.
Kehidupan yang sulit dan keterbatasan lahan pekerjaan di daerah transmigrasi  memaksa Ayah merantau ke pulau seberang, entah itu di Kalimantan, Sulawesi, bahkan terkadang sampai ke Papua hanya untuk menjadi seorang sopir, karena memang mengemudilah keahlian yang beliau miliki. Seringnya Ayah pergi merantau yang pulangnya hanya setahun sekali, wajar masa kecil saya hanya dihabiskan bersama Ibunda. Masa kecil yang tak banyak mengenal sosok Ayah, membuat saya sangat takut tiap kali beliau pulang.
Tak hanya sampai disitu, bangku Sekolah Dasar saya jajaki pada tahun 1998 dimasa krisis moneter. Jauh dari Ayah dan keterbatasan pendidikan Ibunda tidak membuat saya putus semangat begitu saja untuk memperbaiki kehidupan masa depan. Meminta bimbingan Paman dan Bibi yang Sekolah Menengah Pertama (SMP) pun tak selesai menjadi satu-satunya solusi terbaik yang terpikirkan oleh Dany kecil saat itu untuk sekedar memberitahu Ayah dan Ibunda bahwa pendidikan itu memang ada manfaatnya. Ketahuilah, semangat belajar yang menggebu-gebu dengan segala keterbatasan dan ke-minder-an pada waktu itu tidak sia-sia, Juara 1 (satu) saat triwulan pertama kelas 1 SD adalah track record awal yang bisa saya serahkan ke mereka yang tak pernah putus kasih sayangnya, Ayah dan Ibunda. Saat pulang dari perantauan, bahagia bukan kepalang Ayah memberikan reward sebuah sepeda yang kemudian menjadi sahabat menapaki jalanan ke sekolahan hingga SD pun usai.
Sempat lalai, sahabat baru ini membuat saya sering berpetualang bak si bolang yang setelah pulang sekolah langsung menghilang. Prestasi sekolah pun jadi taruhan, merosot tajam tertikung meliuk-liuk tak karuan. Yaa masih sih tidak keluar dari peringkat 5 (lima) besar. Lalu, bagaimana mungkin Dany kecil sempat memikirkan impian masa depan ketika pada saat itu sudah tepat rasanya menjalani takdir Tuhan sebagai anak kecil yang tugasnya dan maunya ya main-main. Sungguh menjadi kenikmatan tersindiri kalau memori ini diputar kembali mengingat masa-masa itu, bagian main-mainnya saja, tidak yang lain, beban-beban hidup yang entah lah kalau diceritakan bisa buyar semuanya. Si bolang anak transmigran ini cinta sekali dengan permainan tradisional. Wajar saja cinta, karena memang tidak ada pilihan lain selain permainan yang itu-itu saja. Tapi jangan salah, menikmati masa kecil yang begitu, sungguh memberikan utility tersendiri pada diri ini, yang membuat enggan cepat-cepat pulang meski hari mulai kelam, berbarengan dengan matahari yang tenggelam di batas lautan semampu mata memandang.
Masih saja berlanjut hingga bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), tapi lagi-lagi, masih saja tidak keluar dari juara lima besar. Hamdallah. Mungkin saja, ini karena malam hari dihabiskan untuk mencatat ulang pelajaran yang didapatkan di sekolah. Kebiasaan ini masih sering saya lakukan sampai sekarang. Banyak sekali manfaatnya, tidak hanya catatan terlihat rapi dan bersih, tapi saya bisa kembali mengingat  ilmu-ilmu yang diajarkan Bapak Ibu guru yang budiman.
Waktu terus berjalan dan roda pun tak henti berputar. Segala keterbatasan, masalah-masalah yang lalu lalang, hingga mulai berkembangnya pemahaman kehidupan karena umur yang terus berlanjut, barulah pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA), Dany tak lagi menjadi bocah kecil yang hobinya ngebolang. Jauh dari orang tua pada masa SMA membuat saya mulai belajar hidup mandiri, setidaknya bertanggung jawab untuk diri sendiri, dan mendekatkan diri pada Allah S.W.T, Sang Khalik yang Maha Luas Kasih Sayangnya. Mulailah pada masa ini memikirkan apa yang sebenarnya impian yang ingin digenggam dengan sembilan tahun mengenyam pendidikan.
Bertansformasi menjadi sosok yang jauh berbeda pada masa SMA, “culun” sudah menjadi image sehari-hari rekan-rekan sekolah. Ya karena pakaian yang dikenakan selalu rapi padahal niatnya hanya menjadi anak muda yang punya ciri tersendiri dalam masa-masa pembentukan diri. Kawan tentu ingat, masa-masa maraknya siswa menggunakan “celana pensil” yang padahal kerap kena razia guru tapi tetap diulang-ulang juga. Ketika siswa lain berlomba-lomba memakai motor modifikasi ke sekolah, anak transmigran ini hanya berjalan kaki ke sekolah yang jalan ditempuh cukup menanjak dan terjal. Saya merasa menjadi sosok siswa yang berbeda dengan siswa lainnya pada masa itu. Waktu banyak dihabiskan di kosan. Membaca buku menjadi hobi baru terlebih buku biografi atau sejenis buku self improvement. Dari banyak buku yang dibaca, banyak inspirasi saya peroleh tentang bagaimana perjalan-perjalanan hidup mereka yang meraih sukses padahal dengan latar belakang keluarga yang tak jauh berbeda redaksinya. Saat itu, saya mulai merangkai mimpi-mimpi dengan strategi untuk menggenggamnya,
Lebih dari itu, saya pun aktif di ekstra-kurikuler sekolah seperti Pramuka dan juga aktif di Organisasi Siswa (OSIS). Bahkan ketika itu, saya sampai diutus mengikuti Jambore Nasional di Sumedang. Di awal SMA, kembali dipercayakan menjadi Pasukan Pengibar Bendera (PASKIBRA) tingkat Kabupaten. Banyak yang bisa diperoleh dari kegiatan-kegiatan lapangan ini seperti melatih kedisiplinan, kepemimpinan dan tanggung jawab.
Disiplin dengan segala strategi belajar pada masa SMA sungguhlah hasilnya tidak sia-sia. Selama SMA, saya selalu masuk peringkat 3 (tiga) besar dan tak tanggung-tanggung, saat kelas 3 saya menjadi juara umum di Sekolah. Inilah pembuktiannya, perspektif “miring” ini perlu diluruskan kembali. Aktif di organisasi tidak akan mempengaruhi prestasi akademik di sekolah jika dikondisikan dengan baik dan benar. Lulus SMA dengan nilai sangat memuaskan, kemudian saya mendapatkan kesempatan mendaftar sebagai mahasiswa undangan (PMDK).
3 (tiga) Universitas yang saya pilih pada waktu itu. Namun, keoptimisan untuk bisa diterima melalui jalur PMDK pupus sudah. Tidak ada satu pun dari tiga universitas yang dipilih menerima. Tak berkecil hati, masih ada secercah harapan mengikuti seleksi Akademi Kepolisian (AKPOL) dan IPDN meski membuat saya tidak bisa ikut ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang waktunya berbarengan. Beberapa tahapan seleksi AKPOL dan IPDN pun telah dilalui, namun kembali, semua harapan lenyap ketika pada akhirnya saya dinyatakan tidak lulus.
Apalagi yang bisa dilakukan selain Ikhlas, bersabar, berserah diri, dan menerima takdir akan ketidak-jelasan masa depan yang dirasakan, gagal disemua kesempatan yang datang. Sempat pesimis bahkan berpikir bahwa kerja keras menahan pahit dan derita selama masa muda ini sia-sia. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menganggur setahun menanti tahun depan untuk mengikuti SNMPTN kembali. Jelas, kegagalan yang dialami bukan hanya saya saja yang merasakan, Ayah dan Ibunda pun tentu sempat berkecil hati. Besar sungguh harapan beliau anak laki-laki satu-satunya ini bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri setelah SMA.
Keputusan mengganggur ini menjadi pergolakan batin dan masalah baru hingga sempat membuat Ayah tidak menerima yang akhirnya kondisi di rumah saat itu sungguh sangat tidak nyaman, karena hari-hari tak luput dari kemarahan sang Ayah. Namun, dengan penyampaian yang baik, pengertian, dan kerja keras yang sungguh perlu pembuktian bahwa sikap konsisten untuk tetap kuliah di perguruan tinggi negeri tahun depan dapat meluluhkan hati Ayah dan Ibunda.
Di saat lilin harapan mulai meredup, Allah membuka jalan untuk saya dengan arah yang tak diduga-duga. Pada saat itu, nomor yang tak dikenal berkali menghubungi. Hamdallah, siapa sangka, itu telepon dari Universitas Andalas yang menyatakan bahwa saya diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Agribisnis memalui jalur beasiswa Bidikmisi. Tak terbendung rasanya suasana hati pada senja itu. Inilah janji Allah, “Fainna ma’al ‘Usri Yusra. Inna ma’al ‘Usri Yusra”, Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (QS. Al Insyirah: 5-6). Lantas, haruskah saya tidak bersyukur? Alhamdulillah… Terima kasih Duhai Allah...
Keesokan hari sejak pemberitahuan itu, saya diharuskan untuk mendaftar ulang ke universitas padahal esok merupakan hari pertama puasa bulan Ramadhan. Sore hari dengan persiapan yang serba mendadak, saya bergegas berangkat ke Padang yang seumur-umur saya belum pernah mengetahuinya seperti apa terlebih jalanan yang harus ditempuh ke sana dan akhirnya sampailah saya pukul 10 malam. Alhamdulillah, pertolongan Allah tiada putus sampai di situ, saya diizinkan menginap di rumah teman yang juga mengizinkan saya untuk mengendarai motornya karena enggan mengantar saya esok hari pagi-pagi sekali ke Unand, sebuah nama baru, tempat baru, yang sungguh tidak ada pengetahuan saya tentang nya. Tidak mau mengambil resiko karena tidak tahu rute yang akan ditempuh ke Unand, akhirnya saya memutuskan untuk naik angkot. Hari itu juga, seusai semua urusan pendaftaran selesai, tidak mau berlama-lama merepotkan teman, saya mencari kos-an sendiri dan langsung dengan segala perlengkapan yang rasanya dibutuhkan selama tinggal di Padang.  
Diterima sebagai mahasiswa jurusan Agribisnis 2010 yang bahkan awalnya saya tidak pernah mengetahui adanya jurusan tersebut, membuat saya yakin bahwa inilah jalan yang benar yang Allah pilihkan. Luar biasa sekali, hingga Allah yang memilihkan. Dengan kepercayaan tersebut, saya menjalani kuliah dengan sungguh-sungguh.
Pada semester pertama saya memperoleh Indeks Prestasi (IP) di atas 3,5 (tiga koma lima). Semester dua, kembali tak mau menyia-nyiakan hari-hari diperantauan jauh dari orang tua, saya pun mengisi waktu aktif di organisasi internal dan eksternal kampus. Teringat kata Ibunda, “kalau waktumu tidak di isi dengan kegiatan yang positif, berarti waktumu habis dengan kegiatan yang negatif”. Inilah yang selalu terngiang nasihat-nasihat Ibunda yang penyayang, di samping komitmen tentang kedisiplinan yang tidak pernah saya lepaskan, terutama disiplin membagi waktu. Penting sekali memiliki keahlian dalam membagi waktu terlebih ketika harus aktif di bidang akademisi dan organisasi. Sehingga ini menjadi modal baru dalam memahami mana yang harus menjadi prioritas utama yang pada akhirnya ini menjadi karakter, harga mati yang harus dimiliki laki-laki.
Tidaklah penting memiliki jabatan yang tinggi di dalam organisasi. Karena jabatan itu, menurut saya, nomor dua, yang utama adalah kontribusi. Terkadang beberapa mahasiswa begitu berambisi untuk mendapatkan jabatan, namun minim kontribusi.
Saat di bangku kuliah, saya mulai membuat, menulis, dan menandai prioritas agenda dan target jangka pendek, serta jangka panjang yang harus saya capai dan yang telah dicapai. Kegiatan ini menjadi motivasi tersendiri menjalani kehidupan kedepan. “You are the best motivator for your own success. You are the biggest creator for your own destiny”. Kalau tidak diri ini sendiri, siapa lagi yang akan memotivasi. Motivator terbaik adalah diri sendiri maka ciptakanlah nasib dan kesuksesanmu sendiri.  
Semakin dinikmati masa-masa dibangku  kuliah, semakin jelas ke mana arah impian yang sesuai dengan passion saya. Dengan target-target tersebut, apa pun yang dilakukan terarah dan fokus pikiran pun akan selalu pada target yang telah dibuat. Hingga saya merasa menjadi pribadi baru yang sangat idealis, perfeksionis, dan melankolis. Waktu demi waktu yang dijalani setiap harinya terasa lebih jelas ke mana masa depan ini akan diarahkan.
Contoh target yang pernah saya buat seperti setiap semester IP harus naik dan bisa menyelesaikan studi S1 sebelum 4 (empat) tahun. Dengan aktivitas sehari-hari yang selalu terarah, Allah memberikan apa yang saya butuhkan sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Berucap syukur, Alhamdulillah, saya lulus S1 dengan lama studi 3 tahun 5 bulan sebagai lulusan terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) > 3,5 (tiga koma enam lima).
Ternyata Rahman Tuhan tidak berhenti di situ saja. Setelah menyelesaikan studi S1, saya mendapatakan email dari Kementerian Pendidikan untuk mendaftar beasiswa program Pascasarjana. Begitu panjang proses seleksi yang harus dilalui untuk mendapatkan beasiswa ini. Akhrinya saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan, telah memberikan kesempatan melanjutkan kuliah Strata 1 dan Strata 2 dengan program beasiswa. Saat ini saya menempuh studi S2 di Universitas Gadjah Mada jurusan Agricultural Economic. Saya memperoleh beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) selama 2 (dua) tahun.
Lihatlah, anak transmigran yang melewati banyak hal semasa kecilnya ini, menahan perasaan dari segala keterbatasan, membanding-bandingkan kehidupan dengan teman-teman yang sama tumbuh kembang, akhirnya dapat menikmati pendidikan hingga strata dua di pulau Jawa, di Universitas yang diidam-idamkan banyak mahasiswa dengan tidak mengeluarkan sedikitpun biaya pribadi. Semuanya adalah hasil kerja keras yang akhirnya mendapatkan beasiswa hingga saat ini. Tentu saja, setiap kali saya merasa beruntung, Sungguh, do’a Ibunda telah Allah dengar.
Perjalanan masih panjang, tidak putus sampai di sini. Bijak sekali kutipan ini, “Don’t stop when you’re tired, Stop when you’re done”. Selepas menyandang gelar Master nanti, masih banyak rentetan target yang harus dicentang di buku target yang sudah lama diramu. Salah satunya melanjutkan pendidikan S3, sehingga bisa memperoleh gelar Doktor sebelum umur genap 30 tahun. Dan kemudian bisa mengabdikan diri menjadi seorang dosen di almamater tercinta (Universitas Andalas) kalaupun Allah memberikan kesempatan tersebut. Namun, tujuan hidup saya sederhana, hanya membahagiakan orang tua terhadap apa yang dilakukan dan didapatkan. Bersemangat bergelut dibangku kuliah dilatarbelakangi sebuah teori yang didapatkan dalam mata kuliah sosiologi, yaitu jika ingin merubah strata sosial keluarga bisa melalui pendidikan atau pernikahan. Untuk saat ini melalui pendidikanlah yang dipilih. Karena kesempatan untuk merubah strata sosial itu saat ini baru dapatkan melalui jalur pendidikan.

Sepanjang perjalanan yang ditempuh selama ini “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu Dustakan?” (QS. Ar- Rahman:17). Nikmat demi nikmat yang diperoleh hingga saat ini, kalau disyukuri, janji Allah akan ditambahkan. Cara bersyukur itu sangatlah banyak, salah satunya semakin mendekatkan diri ke Tuhan. Inilah yang saya yakini hingga saat ini, jangan menunda-nunda untuk beribadah kepada Allah. Insya Allah, Allah pun tidak akan menunda-nunda rezeki untuk kita. Dan percayalah, Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan tetapi apa yang kita butuhkan. Terkadang jalan yang diberikan-Nya datang dari arah yang tidak diduga-duga. Lantas kemudian, keterbatasan yang selama ini menjadi momok menakutkan, tidaklah lagi menjadi alasan untuk menggenggam rentetan impian. Berkatalah Ibnu Qayyim, “Andaikan kalian tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu, pasti hatimu akan meleleh karena cinta kepada-Nya”. Manis sekali bukan? Hamdallah