Seratus enam puluh lima kilometer dari
ibu Kota Provinsi Sumatera Barat ─
Padang, atau 4 jam perjalanan yang perlu ditempuh menuju sebuah desa
transmigrasi yang berada di Kabupaten Sijunjung, yaitu Sungai Tambang. Adanya
tambang batu bara dan sebuah sungai yang mengalir di daerah pertambangan,
merupakan latar belakang pemberian nama desa ini. Desa yang dilewati oleh jalan
lintas Sumatera, merupakan daerah transmigrasi
yang disediakan oleh pemerintah untuk penduduk yang dulunya berasal dari
Pulau Jawa.
Gambar 1: Para transmigran dari Pulau Jawa
Sumber: Ramadhan dkk, 1993
Kebijakan transmigrasi merupakan solusi yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Di daerah transmigrasi, pemerintah memberikan lahan untuk pemukiman dan bercocok tanam kepada penduduk transmigran. Pemerintah memberikan lahan untuk pemukiman seluas ¼ hektar untuk setiap keluarga. Dan lahan untuk bercocok tanam seluas 1 ¾ hektar. Di lahan pemukiman, didirikan rumah-rumah panggung yang diisi oleh beberapa anggota keluarga. Dan di lahan bercocok tanam, dibuat ladang dan sawah untuk menanam padi.
Desa Sungai Tambang merupakan daerah transmigran yang penduduknya heterogen. Ada penduduk asli yaitu Suku Minang dan penduduk transmigran yang bersuku Jawa dan Sunda. Dan kini bertambah lagi Suku Batak yang berasal dari perantau Sumatera Utara. Datangnya penduduk transmigran dapat diterima dengan baik oleh penduduk asli. Masyarakat mampu hidup bersama dalam keberagaman suku dan agama, yang mencerminkan ideologi bangsa Indonesia ─ Pancasila.
Kehidupan yang damai dalam keberagamaan tanpa muncul konflik-konflik sosial yang dikarenakan perbedaan ras, merupakan sebuah ketenangan dalam menjalani kehidupan. Penduduk desa ini bermata pencaharian yang banyak menguras keringat dan menuntut kerja keras untuk sejahtera, yaitu bertani. Bercocok tanaman padi dulunya merupakan sumber utama penghidupan. Sawah-sawah terbentang luas dan terlihat indah dari atas bukit─Bukit Itik─yang berada di desa ini.
Pada awalnya mata pencaharian sebagai petani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari─Subsisten─dan keluarga yang hanya sibuk memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup di daerah yang baru ditempati, berakibat tidak adanya perhatian keluarga untuk kelanjutan pendidikan anaknya. Wajarlah, jika generasi pertama dan kedua dari penduduk transmigran ini banyak yang tidak menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah. Bahkan banyak yang tidak tamat Sekolah Dasar.
Gambar 2: Kondisi Pemukiman
Sumber: Ramadhan dkk, 1993
Selain
pendidikan, kesehatan juga merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam
menunjang kehidupan. Fasilitas kesehatan yang sangat terbatas merupakan masalah
penting di lingkungan baru yang dulunya merupakan hutan, tentu bisa menjadi
pemicu munculnya penyakit yang diderita oleh penduduk. Memang ini merupakan sebuah
tantangan bagi penduduk bagaimana bisa bertahan hidup dengan segala
keterbatasan. Ketika ada anggota keluarga yang sakit, mereka tidak tahu harus
dibawa berobat ke mana dan akhirnya banyak keluarga yang mengabaikan jika ada
anggota keluarga yang sakit. Atau mereka hanya bisa mengobati dengan
bahan-bahan yang tersedia di alam.
Keterbatasan
fasilitas publik merupakan kendala utama yang harus dihadapi penduduk
transmigran. Gelap ketika malam datang, mereka nikmati dengan pencahayaan
seadanya, karena listrik yang salah satu sumber pencahayaan belum tersedia.
Bercengkerama bersama keluarga yang penuh kehangatan dan canda tawa untuk
menghapus derita merupakan rutinitas setiap malam yang kelam. Mereka belum bisa
menikmati hiburan seperti televisi. Hiburan hanya dari canda tawa antar anggota
keluarga.
Sumber: Ramadhan dkk, 1993
Setelah
lebih dari dua puluh tahun dari awal menempati daerah transmigrasi─tahun
1968─penduduk mulai menikmati kehadiran aliran listrik pada awal tahun 90’an. Kehadiran
listrik ini menjadi starting point
untuk perubahan kehidupan penduduk transmigran. Rumah-rumah penduduk mulai
diterangi lampu listrik, sebagai pengobat rindu malam yang diterangi cahaya. Kemudian
muncul permintaan untuk barang-barang rumah tangga yang menggunakan listrik. Keadaan
ini memicu lahirnya usaha-usaha untuk memenuhi permintaan tersebut. Serta
adanya listrik ini menambah semangat belajar anak-anak penduduk transmigran
ketika malam hari, yang sebelumnya mereka belajar hanya dengan penerangan
seadanya. Listrik telah menjadi initial
resourcing dalam perubahan kehidupan para transmigran.
Penduduk
transmigran harus menunggu hingga dua puluh tahun untuk menikmati aliran
listrik, kemudian sepuluh tahun kemudian─awal tahun 2000’an─penduduk juga mulai
bisa menikmati jaringan komunikasi melalui handphone.
Tentu kehadiran jaringan komunikasi ini bisa memperlancar dunia usaha yang ada
pada saat itu dan juga mendorong lahirnya usaha-usaha baru. Dan kini, desa ini
menjadi daya tarik tersendiri bagi pelaku usaha dengan tersedianya
fasilitas-fasilitas publik.
Ketersediaan
fasilitas publik yang lebih baik pada awal tahun 2000’an, juga diikuti dengan
perubahan dan penambahan sumber pencaharian penduduk. Dulu, penduduk hanya
bercocok tanam padi saja. Kini, mereka mulai mengusahakan tanaman-tanaman
perkebunan yang lebih memberikan low risk
dan high income dibandingkan dengan menanam
padi, seperti tanaman karet dan sawit.
Perekonomian
pun terus menggeliat dengan meningkatnya permintaan dan harga untuk komoditi
karet dan sawit. Sehingga penduduk mulai membuka lahan-lahan baru untuk
dijadikan lahan perkebunan. Begitu besarnya perubahan kehidupan petani dengan
mengusahakan tanaman perkebunan ini, berakibat meningkatkan alih fungsi lahan
dari tanaman padi ke tanaman perkebunan. Hamparan sawah-sawah hijau yang dulu
bisa dinikmati dari atas bukit, kini berubah menjadi hamparan kebun sawit.
Memang dengan adanya kebun sawit kehidupan petani bisa lebih sejahtera. Namun,
karena komoditi ini memiliki kebutuhan air yang cukup tinggi membuat saluran
air dari bendungan mulai mengering. Hal ini
menyebabkan petani-petani yang masih menanam padi kesulitan untuk
memperoleh air. Dan akhirnya mereka dengan terpaksa mengalihfungsikan lahannya
menjadi tanaman perkebunan.
Pada awal tahun 2000’an, keluarga pun telah mulai memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Karena kebutuhan primer mereka telah mampu terpenuhi. Munculnya sekolah-sekolah negeri baru menunjukkan semakin tingginya minat bersekolah anak-anak transmigran. Meski pada periode belum banyak yang melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Kemudian meningkatnya kesadaran pentingnya pendidikan, pada pertengahan tahun 2000’an sudah mulai banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Dan kini, anak-anak transmigran ini sudah banyak yang menyandang gelar sarjana bahkan bergelar magister. Selain karena kemauan sekolah juga didukung kemampuan ekonomi keluarga dari hasil usaha tani perkebunan.
Meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pendidikan juga diikuti dengan meningkatnya kesadaran
akan pentingnya kesehatan. Kini selain adanya Puskesmas, juga ada
praktik-praktik dokter, bidan dan didukung adanya apotek-apotek untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Munculnya fasilitas-fasilitas kesehatan ini karena
semakin meningkatkan permintaan akan kebutuhan dan kesadaran kesehatan.
Desa
Sungai Tambang yang dulunya memiliki segala keterbatasan infrastruktur dan
fasilitas publik, kini menjadi growth
pole yang menggerakkan perekonomian di wilayah tersebut. Kegiatan jual-beli
terus meningkat dan ruko-ruko berjajaran sebagai tempat usaha terus bertambah
di sepanjang jalan lintas Sumatera yang melewati desa ini. Perekonomian di desa
ini terlihat menjanjikan yang mampu mengundang penduduk dari daerah lain untuk
mencoba peruntungan. Selain mampu mengundang penduduk dari daerah lain,
perekonomian desa ini juga mampu menarik bank-bank untuk membuka cabangnya.
Kini, tercatat sudah ada tiga bank BUMN dan satu bank daerah yang berdiri di
desa yang dulunya semak belukar. Bank tersebut hadir dengan harapan mampu
mendorong perekonomian dengan pinjaman-pinjaman modal untuk usaha.
Dengan
adanya transformasi yang dialami oleh dasa ini, bisa dikatakan bahwa program
transmigrasi berhasil dalam rangka memperbaiki kehidupan penduduk. Karena jika
penduduk memilih bertahan di Pulau Jawa ─tidak transmigrasi─ bisa jadi
kehidupan mereka tidak lebih baik. Dengan lahan yang sudah sangat sempit dan
jumlah penduduk terus bertambah, hampir tidak mungkin mereka bisa memperbaiki
kehidupan dengan keterbatasan lahan yang terus meningkat. Memang membutuhkan
waktu hampir tiga puluh tahun untuk menikmati hasil dari transmigrasi dengan
adanya perbaikan kehidupan, namun itu lebih baik jika dibandingkan harus
bertahan hidup dalam keterbatasan dan kesengsaraan tanpa perbaikan. ‘Berhijrah’
diperlukan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Waktu
yang lama untuk menikmati hasil dari transmigrasi─hingga tiga puluh
tahun─menjadi catatan untuk pemerintah jika tetap mengadakan program ini dan
hasilnya bisa dinikmati dalam waktu yang relatif lebih singkat. Selain
menyediakan lahan untuk pemukiman dan bercocok tanam, pemerintah juga
seharusnya menyediakan (1) Infrastruktur jalan yang layak guna mendukung
mobilitas penduduk. (2) Fasilitas publik seperti sekolah dan puskesmas. (3)
juga tersedianya aliran listrik dan jaringan komunikasi. (4) Pembekalan dan
pengarahan kepada calon transmigran menghadapi kondisi lingkungan yang baru.
(5) menyediakan sumber mata pencaharian selain usaha tani yang subsisten.